19 November 2008

PROFESIONALISME GURU

Profesionalisme merupakan komponen vital yang dapat menjamin kualitas pendidikan sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun pengembangan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan sangat menentukan terhadap peningkatan kualitas pendidikan, akan tetapi kenyataan yang ada pengembangan profesi masih dilakukan secara sporadik dan sentralistik. Dikatakan sporadik karena upaya pengembangan guru dan tenaga kependidikan tidak dilakukan secara berkelanjutan, serta tidak diikuti evaluasi yang sistemik dan terencana. Dikatakan sentralistik karena upaya pengembangan diwarnai usaha penyeragaman pola dan materi tanpa memperhatikan kebutuhan dan kondisi spesifik guru dan tenaga kependidikan, sekolah maupun daerah.

Dengan mempertimbangkan berbagai kelemahan yang melekat pada sistem yang ada, perlu dicarikan alternatif pemecahan supaya guru dan tenaga kependidikan dapat meningkatkan profesi dan harkat diri secara wajar sesuai dengan akumulasi pengalaman hidup dan keahlian profesionalnya. Kegiatan yang dapat direalisasikan untuk menjamin profesionalisme guru agar senantiasa meningkatkan pengetahuan, keterampilan, serta kualitas layanan profesionalnya dari waktu kewaktu adalah dengan program sertifikasi yang berkelanjutan. Idealnya peningkatan profesionalisme diikuti oleh perbaikan sistim imbalan dan penjejangan karier dengan memperhitungkan imbalan progresif secara wajar sehingga dapat meningkatkan harkat diri guru sebagai pendidik.

Meskipun terdapat berbagai jenis perumusan tentang tugas dan kompetensi guru, akan tetapi secara nasional telah disepakati bahwa tugas tugas guru adalah seperti tercantum pada Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional Tahun 2003 (pasal 39) bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Peran strategis guru sebagai pendidik berpengaruh langsung pada proses belajar mengajar siswa. Kualitas proses hasil belajar ini, pada akhirnya ditentukan oleh kualitas pertemuan antara guru dan siswa. Ilmu serta keterampilan yang dimilikinya akan menjadi alat pendewasaan anak didiknya, sehingga kualitas pendidikan lulusan suatu sekolah sering kali dipandang tergantung kepada peranan gurunya dan pengelolaan komponen yang terkait dalam proses KBM.

Menurut catatan Depdiknas, dari 1.141.168 guru SD se-Indonesia, ternyata baru 38 % atau 442.310 guru saja yang memenuhi syarat layak mengajar (Kompas, 25 Januari 2005). Mereka dikatakan tidak layak mengajar karena ijazah yang dimiliki di bawah jenjang D2 sehingga diasumsikan kreativitas, daya nalar, penguasaan ilmu dan kemampuan mengajar di kelas masih belum berkembang secara maksimal. Bahkan bagi guru-guru yang telah menempuh program penyetaraan dan memperoleh gelas D2 sekalipun, hal itu tidak serta merta menunjukkan peningkatan kemampuan yang signifikan dalam mengajar di kelas. Permasalahan yang timbul kemudian adalah kurangnya tenaga guru untuk mata pelajaran umum, terutama mata pelajaran MIPA dan bahasa Inggris. Masalah ini memunculkan masalah berikutnya yaitu ketidaksesuaian keahlian dan mata pelajaran yang diajarkan (mismatch), di samping itu juga pembinaan tenaga guru juga dihadapkan pada masalah tingkat professional guru, baik substansi ilmu dalam mata pelajaran yang dipegang maupun kemampuan dan penguasaan metodologi. Tuntutan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan di Indonesia bersifat internal dan eksternal, baik fasilitas maupun kegiatan. Diakui atau tidak bahwa kekurangan-kekurangan itu pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun berkaitan dengan kurangnya pihak sekolah dalam pengembangan profesionalisme para guru. Permasalahan ini apabila dibiarkan berlarut-larut akan merugikan pembangunan pendidikan nasional.

Berbagai gambaran dari struktur kepangkatan, pendidikan serta melaksanakan tugas, memberikan isyarat pentingnya upaya manajemen yang terus-menerus untuk meningkatkan profesionalisme guru pada lembaga pendidikan. Sekalipun demikian, keberhasilan upaya manajemen tersebut terkait erat dengan sikap, perilaku, motivasi dan pribadi guru itu sendiri. Dalam dunia kerja, profesionalisme lebih banyak ditentukan oleh individu profesi yang bersangkutan. Berbeda dengan masa pendidikan, saat profesionalisasi lebih banyak ditentukan oleh lembaga pendidikan melalui aturan atau kaidah akademik yang digunakan sebagai standar oleh lembaga pendidikan. Dengan demikian, keberadaan sertifikasi bagi pendidik dan tenaga kependidikan mutlak diperlukan.

Merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh P3TK Depdiknas (2003), sertifikasi adalah pemberian sertifikat kompetensi atau surat keterangan sebagai pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan setelah lulus uji kompetensi. Sertifikasi berasal dari kata certification yang berarti diploma atau pengakuan secara resmi kompetensi seseorang untuk memangku sesuatu jabatan profesional. Apabila dihubungkan dengan profesi guru, maka sertifikasi dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar yang menunjukkan bahwa pemegangnya memiliki kompetensi mengajar dalam mata pelajaran, jenjang dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang diterangkan dalam sertifikat kompetensi tersebut.

Sertifikasi bagi guru merupakan cara yang efektif untuk menentukan kualitas guru dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan profesi mengajar. Sertifikasi bagi guru adalah sistem penilaian terpadu yang meliputi proses pengelolaan kinerja guru untuk menunjang peluang pengembangan karier profesionalnya. Sertifikasi guru diarahkan untuk menciptakan iklim dan lingkungan kerja yang berorientasi produktivitas, merit pay (pemberian imbalan yang baik bagi yang berprestasi), dan berkeadilan, dilakukan secara sistemik, dan ditujukan untuk kesinambungan karier guru secara profesional.

Pengembangan profesionalisme guru dimulai dari kondisi objektif yang merupakan peta kemampuan profesional menuju ke arah standar kompetensi profesional guru dengan jaminan tertulis dalam bentuk sertifikat. Rasionalisasi perlunya sertifikasi bagi guru adalah Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 39 sampai dengan No 44, globalisasi pendidikan dan pemberlakuan standar nasional pendidikan (PP. No. 15 Tahun 2005). Ruang lingkup sertifikasi guru sebagaimana ditegaskan dalam PP. No. 19 Tahun 2005 pada bab VI pasal 28 sebagaimana berikut: Pendidik harus memilki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memeilki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (ayat 1). Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijzah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2). Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Sehubungan dengan hal tersebut Menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peraturan Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan untuk mengatur pelaksanaan uji kompetensi guru. Uji kompetensi tersebut dilakukan melalui penilaian portofolio untuk memperoleh sertifikat pendidik. Pelaksanaan sertifikasi ini dilakukan dengan menggunakan komponen portofolio sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan. Komponen portofolio tersebut meliputi; kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan dan keagamaan.

Sertifikasi memberikan jaminan akan kinerja dan kemampuan guru dalam melakukan pekerjaan mengajar dan mendidik secara profesional. Tanpa sertifikasi akan semakin banyak orang merasa bisa menjadi guru tanpa melalui pendidikan yang disyaratkan. Anggapan bahwa pekerjaan guru dapat dilakukan oleh siapa saja asal memiliki bekal kemampuan materi yang diperlukan harus segera diluruskan. Hakekat mengajar tidak sekedar transformasi ilmu semata tetapi ada unsur-unsur paedagogis sehingga terjadi perubahan perilaku anak didik baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.

Guru merupakan titik sentral kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh itu profesionalisme guru merupakan suatu keharusan. Guru profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode, tapi juga harus mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas akan dunia pendidikan. Tetapi guru profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang makna hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Pemahaman ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru serta loyalitasnya terhadap profesi pendidikan. Dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis, bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan Undang-Undang Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 40 ayat 2 a). Guru yang profesional dipersyaratkan. Pertama, dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21. Kedua, penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan paktis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada paktis pendidikan masyarakat Indonesia. Terakhir, pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan. Profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service training karena pertimbangan birokrasi yang kaku atau manajemen pendidikan yang masih lemah belum menyentuh dan mengangkat permasalahan di lapangan. in service training dapat dimulai dari program penyetaraan untuk meningkatkan kualifikasi guru, meningkatkan kemampuan-kemampuan yang sifatnya khusus melalui penataran, dan pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional. Kegiatan tersebut diharapkan dapat dipergunakan untuk memperbaharui dan meningkatkan kemampuan profesional guru. Melalui kegiatan sertifikasi dapat diketahui mana guru yang baik dan mana yang belum baik dilihat dari hasil penilaian terhadap kinerja guru termasuk kemampuan profesionalnya. Guru yang baik perlu dipertahankan keberadaannya jika perlu diberi penghargaan atau dipromosikan. Untuk guru yang belum baik perlu ditingkatkan kemampuannya melalui program penyetaraan, bimbingan, pelatihan dan penataran. Profesionalisme guru secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari kualitas pendidikan. Dalam studi-studi itu, guru yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Lebih-lebih untuk lembaga pendidikan yang bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal perkembangan profesionalisme guru. Guru merupakan komponen yang layak mendapat perhatian karena baik ditinjau dari segi posisi yang ditempati dalam struktur organisasi pendidikan maupun dilihat dari tugas yang diemban, guru merupakan pelaksana terdepan yang menentukan dan mewarnai proses belajar mengajar serta kualitas pendidikan umumnya.

Untuk itulah, melalui program sertifikasi ini dimungkinkan guru-guru profesional akan terlahir sebagai bentuk keinginan kita bersama dan bukan dimaknai sebagai program sporadik dan tidak sustainable. Melainkan sebagai program yang terencana yang pada gilirannya akan meningkatkan profesionalisme guru.

Mujakir
Pascasarjana UNY dan Mantan Direktur PUSMAJA Periode 2008-2009

17 November 2008

Selayang Pandang PUSMAJA-Mbojo Yogyakarta

Latar Belakang

Pusmaja Mbojo-Yogyakarta merupakan lembaga non partisan, ideologi, dan ras, yang memfokuskan pada kebersamaan mahasiswa Pascasarjana untuk mengelola akses sumberdaya. Di bentuk dalam rangka merespons perkembangan dan keberadaan Mahasiswa Pascasarjana Mbojo yang berada di Yogyakarta cukup signifikan baik secara kuantitas maupun secara kualitas banyak jumlahnya dan berkompeten, akan tetapi keberadaan kominitas tersebut belum diberdayagunakan untuk mediskusikan hal-hal yang menyangkut masalah akademik dan yang berhubungan dengan masyarakat Mbojo, serta merespon perkembangan prilaku masyarakat di tengah-tengah pengaruh globalisasi informasi dan budaya materialistik hedonis yang seringkali tidak sesuai dengan jati diri bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan. Atas dasar itulah, Pusmaja Mbojo-Yogyakarta lahir berupaya mencari solusi dan alternatif dengan melakukan berbagai aktivitas terutama di bidang Politik dan Hukum, Sosial, Ekonomi dan Budaya, Kedokteran, Sains dan Teknologi, dan Media, Seni dan Dokumentasi. Dengan harapan kegiatan ini dapat membantu memberdayakan Mahasiswa Pascasarjana Mbojo-Yogyakarta serta masyarakat (social empowering) Mbojo pada umumnya, agar mereka memiliki kemandirian dan mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di hadapannya.

Visi

Menjadi Wadah bersama untuk mengelola kapasitas sumber daya manusia yang cerdas, profesional, kontributif, demokratis dan religius

Misi
  1. Cerdas : Mengembangkan iklim akademik dan membangun komunitas yang berwawasan persaudaraan
  2. Profesional : Menciptakan manusia yang profesional sesuai dengan bidang keilmuannya
  3. Kontributif : Memberi konstribusi yang bermanfaat bagi kemaslahatan bersama.
  4. Demokrati : Menciptakan suasana organisasi yang demokratis
  5. Religius : menciptakan manusisa yang berakhlaq mulia, beriman dan taqwa kepada allah SWT

Kegiatan:

1. Politik dan Hukum
  • Mendiskusikan masalah Pilkada
  • Perda Syariat dan Integrasi Nasional
  • Perlindungan dan Pembelaan TKI
  • Politik dan Hukum di Mbojo
  • e. Mengamati Hukum Nikah di NTB
2. Sosial, Ekonomi dan Budaya
  • Pemberdayaan ekonomi daerah rawan bencana
  • Haji dan Pemberdayaan ekonomi karakyatan
  • Budaya Bima dan Dompu n Sumbawa
  • Studi Jender
3. Sains dan Teknologi
  • Makanan dan obat-obatan yang baik
  • Tanggap Flu Burung : Upaya pencegahan Penularan Flu Burung ke Manusia
  • Memahami Pendidikan secara kritis
4. Media dan Publikasi
  • Menulis sebagai suatu Profesi
  • Mengumpulkan dan menjilid hasil-hasil diskusi atau seminar
  • Penerbitan Buku berkala
  • Lobi-lobi, jaringan media.
Dewan Pendiri

Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta didirikan pada hari Kamis, tanggal 10 Januari 2007, bertepatan dengan 1 Muharam 1429 H di Yogyakarta. Adapun para dewan pendiri berjumlah 5 orang, yaitu:, M. Irvan, M.Si, Juwaidin, M.Pd, Kaharuddin, M.Hum, Damar Damhuji.,M.Pd dan Makmun, M.drh.

Struktur Pengurus

Struktur pengurus terdiri dari dewan pengarah dan pengurus harian. Adapun Dewan Pengarah adalah:
  1. Drs. H. Musa Ahmad
  2. Drs. H. Malik Hasan
  3. dr. Hj. Siti Aisyah Sahidun
  4. Ir. H. A. Chalik Wahyudi
  5. dr. Hj. Siti Zaenab
  6. Drs. H. Najib M. Saleh DB
  7. Drs. Erwin Nijar
  8. Dr. Mansyur, M.Si
  9. Dr. Syarifudin jurdi.,M.Si

Alamat Sekretariat
Asrama Bima-Yogyakarta (KEPMA)
Alamat: Jl. Gondosuli No. 154 GK.IV
Sanggrahan Yogyakarta (Timur Stadion Mandala Krida)
Telp.

Asrama Dompu
Alamat: Muja Muju
Umbulharjo Yogyakarta

Peluang dan Tantangan NTB Menghadapi Era Globalisasi

Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Semangat pencerahan Eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad 18 juga merupakan pendorong tren globalisasi. Yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya.

Chia (2001) mendeskripsikan arus globalisasi yang terjadi belakangan ini sebagai sebuah fenomena teknologi, ekonomi, sosial, politik dan budaya sekaligus. Globalisasi didorong oleh kemajuan teknologi, khususnya di bidang komunikasi dan transportasi dan komunikasi. Implementasinya terjadi di bidang ekonomi, diawali oleh perdagangan barang, jasa dan faktor produksi, dan kemudian diikuti oleh integrasi ekonomi suatu negara yang makin dalam.

Selanjutnya, interaksi dan transaksi antar individu dari negara-negara yang berbeda akan menghasilkan konsekuensi politik, sosial dan budaya. Ini juga yang tidak terelakkan oleh kita di Indonesia. Sebagai bagian dari komunitas global, bangsa Indonesia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa apa yang terjadi di pekarangan kita tidak terlepas dari dinamika global. Konjungtur ekonomi, perubahan tatanan sosial-politik-ekonomi internasional akan berdampak pada perkembangan di dalam negeri. Sebaliknya, kita juga tidak bisa menafikan bahwa kejadian-kejadian di dalam negeri akan mempengaruhi, atau setidaknya disorot oleh dunia luar.

Seiring perkembangan globalisasi, harapan dan kecemasan muncul berkenaan dengan gelombang globalisasi sebagai suatu kekuatan sosial-politik-ekonomi pada abad 21. Satu penjelasan atas sikap demikian adalah persepsi bahwa dunia yang makin terbawa arus globalisasi selalu membawa keuntungan bagi satu pihak dan kerugian bagi pihak lain. Dari perspektif optimis, globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi masyarakat dan negara-negara sedang berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan bidang ekonomi dan sosial terhadap negara-negara maju. Beberapa data empiris memang menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang yang terlibat secara aktif dalam globalisasi cenderung mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara yang relatif tertutup terhadap perekonomian dunia. Sementara itu dari perspektif pesimis, globalisasi merupakan hantu yang sangat menakutkan, karena globalisasi hanya akan menghasilkan sedikit pemenang dan sejumlah besar pecundang. Para calon pemenangnya adalah negara-negara industri maju, perusahaan-perusahaan multinasional dan kelas profesional, sedangkan para calon pencundangnya adalah sejumlah besar negara-negara sedang berkembang, usaha-usaha skala kecil dan menengah serta kelas buruh.

Sedangkan dalam konteks pembentukan sikap dan identitas global Habermas memformulasikan tri-party identity. Identitas pertama adalah “lokalisasi”. Dalam ruang identitas ini, manusia cenderung menyempit dan menjauh dari hiruk pikuk daya global. Manusia terjebak dalam identitas nasionalisme dan rasa ke-agama-an yang sempit dan cenderung menolak apa pun yang berasal dari luar. Meneguhkan identitas diri tanpa mau kompromi dengan dunia di luar dirinya. Pada titik ekstrim, hal ini mengakibatkan sebuah resistensi politik dan kultural dalam beberapa bentuk mengatasnamakan “jihad” yang dilihat sebagai dorongan parokial yang didorong oleh etnonasionalisme atau fundamentalisme agama, penyalahgunaan makna jihad untuk menjustifikasi tindakan kekerasan misalnya, dilihat sebagai bentuk resistensi politik dan kultural yang mewakili sisi gelap partikularisme kultural.untuk menolak dan menyingkirkan kekuatan homogenisasi Barat dimanapun ia berada. Habermas melihat contoh ini pada kasus 9/11. Identitas kedua adalah “globalisasi”. Dalam identitas ini manusia telah melakukan post-nationalitas bahkan post-etnisitas, dimana identitas agama, etnis atau kebangsaan tidak penting lagi. Dimana manusia lebih memilih menjadi warga negara global. Identitas ini cenderung tercerabut dari identitas akar. Identitas ketiga adalah “glokalisasi”. Di sini manusia memilih untuk melakukan transaksi dan adopsi dan kadang penolakan dalam perjumpaan dengan dunia luar. Identitas yang ketiga ini adalah identitas yang mencoba meng-kompromi-kan realitas dasar dan luar dari dalam dirinya. Apa yang ada di dunia global di masukkan dalam dunia lokal. Dan sebaliknya, apa yang ada dalam realitas lokal dimasukkan dalam dunia global. Dalam identitas ini terjadi proses aktif dalam perjalanan dari horizon satu ke yang lainnya.

Sejalan dengan globalisasi, bangsa Indonesia menghadapi makin banyak isu dan masalah yang berdimensi universal. Kita sekarang, makin akrab dengan isu-isu seputar lingkungan, demokratisasi, HAM, kesetaraan jender, dan belakangan ini juga terorisme. Selain itu banyak tindak kejahatan yang melewati batas negara (transnational crime) seperti penangkapan ikal legal, pencucian uanag serta perdagangan senjata dan manusia.

Konsekuensinya, kita tidak bisa menyikapi isu-isu tersebut dalam kerangka berpikir ’pintu tertutup’. Perkembangan memaksa kita untuk menerima bahwa cara-cara kita mengatasi masalah-masalah universal selalu menjadi sorotan dari dunia luar. Dengan menjadi isu universal, masyarakat internasional akan bereaksi terhadap pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, represi politik, bahkan hal-hal yang tadinya dianggap merupakan wilayah ’domestik’ seperti hak perempuan serta kekerasan dalam rumah tangga. Di sisi lain, kita pun memiliki kepentingan untuk bekerja sama dengan negara lain untuk mengatasi kejahatan antar negara, seperti persoalan dengan Singapura untuk mengekstradisi korupto Indonesia, kerjasama dengan polisi perairan Malaysia untuk mencegah pencurian ikan, dan meminta pemerintah Swiss untuk membantu membuka akses atas rekening pelaku korupsi.

Sulit untuk menentukan suatu batas tegas mengenai kapan sebenarnya Indonesia ikut serta dalam globalisasi. Tetapi jika yang dijadika acuan adalah integrasi yang makin tinggi terhadap ekonomi dunia, maka bisa dikatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dlam globalisasi dimulai pada dekade ’80an. Sama seperti negara-negara Asia Tenggara yang lain, proses memasuki globalisasi di Indonesia lebih banyak didorong oleh pemerintah. Adalah pemerintah, bukan sektor bisnis swasta, yang mengambil inisiatif untuk mengintegrasikan diri dengan ekonomi global. Pelaku bisnis swasta di dalam negeri justru cenderung merasa tidak siap untuk memasuki globalisasi.

Pemerintah Indonesia dan tetangga-tetangganya di Asia Tenggara memandang globalisasi lebih sebagai sebuah fenomena ekonomi. Implikasinya, fokus perhatian pemerintah yang utama adalah kebijakan ekonomi. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi ditandai oleh serangkaian kebijakan diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan pasar internasional.Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kondisi global ditandai oleh dua momentum yang penting. Pertama, krisis ekonomi dan finansial di Asia Tenggara dan dampak globalnya. Di beberapa tempat, krisis tersebut bahakan meluas menjadi krisis sosial-politik. Kedua, isu perang melawan terorisme beserta berbagai implikasinya.

Ada sebuah benag merah yang mengaitkan kedua momentum tersebut. Apa yang terjadi ’diluar sana’ akan membawa dampak pada pekarangan rumah kita. Sebaliknya apa yang terjadi ’di sini’ juga akan membawa berbagai implikasi di negara-negara lain. Namun ironisnya, banyak negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Timur, belum sepenuhnya menyadari hal ini. Banyak pemerintah di negara-negara ini masih melihat perkembangan secara sepihak dan terpisah, atau dalam perspektif yang ’melihat ke dalam’. Ada kecenderungan untuk menganggap bahwa ”apa yang terjadi di pekarangan adalah urusan kami”.

Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagai sub-sistem dari Indonesia tak sedikit pula terkena imbas dari globalisasi yang selama ini lemah dalam hal kebijakan politik dan ekonomi ’dipaksa’ pula bersaing dengan wilayah-wilayah negara lain. Dalam hal sumber daya manusia, terang saja masih kalah karena pembangunan pendidikan yang optimal belum lama dilakukan, sementara daerah-daerah lain sudah terbangun sejak awal.

Otonomi Daerah sebagai Modal

Untuk masuk dalam dunia global diperlukan kekuatan-kekuatan dasar agar kita memiliki bargaining position yang kuat pula. Kekuatan-kekuatan dasar itulah yang dijadikan sebagai faktor kekuatan dalam menghadapi pertarungan di era globalisasi. Kelemahan selama ini adalah bahwa tidak banyak bisa berbuat sebagai sub-negara Indonesia. Selama puluhan tahun orang-orang di propinsi NTB hanya berada pada posisi menerima kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat, dan tidak bisa membuat kebijakan-kebijakan berdasarkan pengetahuan kondisi sendiri, atau membuat kebijakan-kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat NTB.Dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah, kesempatan cukup luas bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri, maka hal itu dimungkinkan untuk menjadi modal menghadapi realitas yang ada.

Sisi lain yang cukup penting dari peristiwa otonomi daerah ini adalah Pemerintah Propinsi NTB dapat membuat kebijakan-kebijakan politik, dan ekonomi yang mengarah pada kemaslahatan masyarakat NTB. Peluang membuat kebijakan sendiri ini menjadi sangat penting juga dalam konteks membangun kerjasama internasional secara mandiri untuk tujuan pembangunan yang lebih mensejahterakan. Jika Propinsi NTB dapat memiliki kehidupan dan sumberdaya manusia yang baik, maka sergapan gelombang globalisasi dapat mereka tahan dan mereka mainkan dengan bagus.

Otonomi, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, merupakan jalan awal yang bagus dalam menciptakan kemandirian, dan membangun peran dan kerjasama internasional bagi daerah-daerah, seperti yang kita lihat pada sejumlah negara federal seperti Amerika Serikat, Malaysia, dan sebagainya. Untuk itu otonomi menjadi sesuatu yang harus dikembangkan dengan lebih baik.

Mengedepankan Kekuatan

Terlepas dari perlu dilakukannya otonomi daerah dan proteksi bagi masyarakat NTB dalam menghadapi era globalisasi, kita harus menyiapkan elemen-elemen pendukung yang ada untuk menjadi kekuatan. Kekuatan dasar dan pendukung yang bisa digunakan untuk mengembangkan NTB sekaligus sebagai instrumen untuk masuk dalam dunia global baik itu kekuatan nyata maupun kekuatan yang tidak nyata. Kekuatan dasar antara lain: Sumberdaya alam dan potensi sebagai daerah parisiwata internasional. Dapat dikatakan NTB, memiliki kekayaan alam yang cukup besar dan menjadi icon daerah pariwisata internasional terdepan di Indonesia setelah Bali, meskipun perlu satu inovasi dan kreatifitas lebih tinggi lagi untuk megembangkan sumberdaya alam dan potensi-potensi pariwisata yang telah ada. Sumber daya dan potensi pariwisata bisa menjadi instrumen untuk masuk dalam dunia global, karena dalam hubungan, baik itu antar daerah, maupun antar negara selalu selalu didasarkan pada hubungan kepentingan yang saling menguntungkan. Alasan-berikutnya, karena untuk masuk dalam dunia global, diperlukan kekuatan standar, dan yang paling utama adalah sumber-sumber yang dapat memberikan peluang kemakmuran dan memperkuat posisi tawar dalam berhubungan dengan daerah atau negara lain.

Adapun elemen-elemen pendukung penting yang secara terus menerus harus dimantapkan, dalam hal ini oleh Pemerintah Daerah, unsur-unsur pimpinan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Paling tidak ada beberapa hal utama yang harus menjadi perhatian:

Pertama, Sumberdaya Manusia. Sumber manusia yang baik merupakan elemen utama dan terpenting. Untuk itu, pengembangan sumberdaya manusia menjadi suatu kewajiban dalam menghadapi persaingan global. Kemajuan dan daya tahan suatu masyarakat tidaklah bergantung pada kuantitas, tapi lebih kepada kualitas penduduk. Kualitas penduduk berhubungan langsung dengan kemampuan suatu daerah dalam mengelola potensi daerah yang mereka miliki. Dalam hal ini, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia NTB harus dilakukan secara baik dan terarah, melalui peningkatan mutu pendidikan di NTB. Tentu saja hal ini sangat ditentukan oleh kebijakan pendidikan yang ada.

Kedua, Kualitas Pemimpin. Tidak perlu diragukan bahwa kebesaran atau ketidakcakapan, kebijaksanaan atau ketidakarifan, keefektifan atau ketidakmampuan dalam kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap kekuatan atau power yang dimiliki oleh suatu daerah. Karena pemimpin merupakan suatu variabel penting, maka dalam menghadapi globalisasi, masyarakat NTB memerlukan sosok pemimpin yang baik dari kalangan masyarakat NTB, memiliki kapabilitas, kredibel, dan memiliki kepribadian yang baik.

Ketiga, Efisiensi Organisasi-Birokrasi. Dalam menghadapi dunia global yang serba cepat dan tepat guna, kebiasaan birokrasi seperti yang lalu harus segera dibenahai. Perlu segera dibentuk birokrasi yang efisien yang bisa digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan, terutama dalam hal menyangkut hubungan dengan dunia luar.

Keempat, Semangat Kebersamaan dan Persatuan Masyarakat. Adapaun dan sebesar apapun kekuatan-kekuatan yang ada, tetap tidak akan menjadi kekuatan besar jika kita tidak ada kebersamaan dan persatuan masyarakat. Persatuan masyarakat menjadi penting, karena dalam dunia yang bagaimanapun, sebuah perjuangan hanya akan sampai kepada tujuan jika ada semangat kebersamaan (Socials Voluntarism), baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Sebuah perjuangan tanpa persatuan masyarakat (Societal Cohesiveness) akan sulit untuk tercapai, terutama jika berhadapan dengan globalisasi. Hal inilah yang secara terus menerus harus ditumbuhkan oleh masyarakat NTB, dari kelompok manapun.

Jika unsur-unsur diatas kita siapkan dengan baik, dan berjalan sebagaimana mestinya, maka globalisasi atau sebuah dunia tanpa batas (borderless) bukanlah suatu yang mengerikan, tetapi justru sebuah dunia yang menarik, dimana kita semua akan dapat memberi dan mentransfer secara berimbang dalam kawah yang sama.

Terlepas dari itu, perbaikan-perbaikan pada semua lini dan kelengkapan-kelengkapan lain juga perlu dimantapkan, khususnya oleh Indonesia karena bagaimanapun yang menjadi pusatnya adalah kebijakan-kebijakan negara yang mendukung munculnya kekuatan masyarakat dalam menghadapi tantangan dan mengambil peluang-peluang besar. Globalisasi yang selama ini juga sering dilihat sebagai instrumen bagi negara-negara yang besar dan berkuasa untuk mempertahankan dominasi mereka di dunia memicu penolakan bagi masyarakat non-Barat untuk menyikapi perkembangan masalah ini bersama. Salah satu cara untuk menghindari kondisi tersebut adalah dengan membangun kerjasama yang kokoh antara negara-negara di kawasan yang sama yang umumnya memiliki karakteristik serupa. Kerjasama yang kuat di antara negara-negara dalam satu kawasan dapat memberi kepercayaan diri yang kuat serta posisi tawar yang lebih besar dalam berinteraksi dengan negara atau kawasan lain di dunia. Dalam perspektif ini, regionalisasi atau kerjasama yang lebih besar di tingkat kawasan, bisa dilihat sebagai sebuah upaya untuk mengurangi dampak negatif dari globalisasi. Integrasi dan keterbukaan ekonomi di tingkat kawasan - di negara-negara ASEAN disebut dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA) - bisa dilihat sebagai sebuah ajang latihan bagi negara-negara tersebut sebelum bergerak menuju integrasi lebih luas di tingkat global.

Referensi

Candraningrum, Dewi. Kematian Perempuan dalam Produk Kebijakan Pemerintah, cited from Jurnal Perempuan.com 5/6/2006.

Chia Siow Yue, 2001. ”Globalization and the Challenge for South East Asia”, keynote speech dalam The Asian International Forum, Fukuoka, Jepang, 12-15 November.

Pangestu, Mari. Syahrir, Perdana, Ari A. (penyunting), 75 tahun Suhadi Mangkusuwondo: Indonesia dan Tantangan Ekonomi Global, Centre for Strategic & International Studies, Jakarta, 2003.

Thoha, Mahmud. Globalisasi, Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E – LIPI), Jakarta, 2001.

Wibowo, I. ”Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan” laporan khusus dari International Forum on Globalization, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003.

Zainal, M. Rusli. Peluang dan tantangan Melayu Riau dalam Era Globalisasi, Riau, 2007

*****

Penulis:

Renny Miryanti adalah Alumni Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Politik, Konsentrasi Ilmu Hubungan Internasional, UGM, Yogyakarta.

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008