Sejarah kekerasan dan konflik telah ada sejak manusia ada dan akan terus ada hingga akhir dari kemanusiaan itu sendiri. Kita masih ingat bagimana kekerasan dan pembunuhan pertama terjadi antara dua bersaudara Qabil dan Habil atas dasar kepentingan siapa yang berhak untuk menikahi saudara wanitanya yang lain. Terlepas dari sejarah kelam ini, hasrat dasar manusia akan kekerasan telah dijelaskan juga dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan bahwasanya manusia akan selalu menumpahkan darah sesamanya. Tanpa melihat faktor pemicu kecil maupun besar, yang jelas setiap faktor ini dapat memicu pecahnya konflik dan kekerasan horisontal.
Tulisan ini akan membahas akar terjadinya kekerasan dan konflik pada masyarakat. Mengingat perjalanan sosiologis masyarakat Bima tidak pernah lepas dari konflik dan kekerasan horisontal. Yang menjadi pertanyaannya, “mengapa masyarakat kita begitu mudah memulai kekerasan meski hanya berawal dari sebab yang sangat kecil?” Perkelahian anak kecil, lalu diikuti perkelahian orang tua, dan pada akhirnya menimbulkan konflik horisontal antar kelompok tertentu. Dan tidak jarang konflik ini memakan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit.
Jika kita tilik realitas ini, saya kira masyarakat yang normal akan menyadari bahwa kekerasan dan dendam bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah. Bahkan cara primitif semacam ini akan menyebabkan kekerasan yang terus berlanjut tanpa ada akhirnya sehingga menimbulkan efek bola salju yang semakin membesar dari waktu ke waktu.
Menurut Henry Tajfel, dalam teori Social Categorization-nya menyebutkan bahwa kekerasan merupakan akibat dari adanya kategori sosial dalam masyarakat. Kategori sosial yang dimaksudkan di sini adalah adanya polarisasi dan pengelompokkan di antara kelompok masyarakat yang saling membandingkan antara satu sama lainnya. Menuru Tajfel, ketika kita mengkategorikan suatu kelompok dengan kelompok lain dengan dua kategori atau lebih, maka hal ini sudah cukup untuk menimbulkan konflik horisontal baik yang bersifat psikis maupun fisik. Dalam teori ini dikenal dua istilah yaitu ingroup dan outgroup.
Ingroup adalah kelompok dimana seseorang menjadi bagian di dalamnya dan memiliki rasa keterlibatan (ego involvement) pada kelompok tersebut. Ingroupoutgroup adalah sebaliknya. Atas dasar ingroup dan outgroupmiscommunication di antara dua kelompok yang berbeda ini. Efek sosialnya jika terjadi kekerasan yang melibatkan salah satu dari anggota kelompok ini, maka anggota yang lain dalam kelompok yang sama akan menuntut pembalasan dengan alasan – yang sesunggunya tidak logis. Sebagai contoh, nyawa harus dibayar dengan nyawa. juga dapat diartikan sebagai kelompok dimana seseorang mengidentitaskan diri, sementara semacam ini, seringkali kita salah memahami kelompok lain dan cenderung akan menyalahkan kelompok lain jika terjadi.
Kontekstualisasi teori ini dapat dilihat misalnya dalam penyebutan antara mbojo kota dengan mbojo kabupaten. Meski sebutan ini pada awalnya menunjukkan lokasi tertentu, akan tetapi kemudian mengalami perluasan makna yang sifat stereotipe. Contoh lain adalah ketika kita membedakan antara diri kita dengan orang lain, dengan mengelompokkannya dalam kotak-kotak tertentu yang tidak semestinya, ini sudah dapat memicu terjadinya konflik. Seperti yang kita ketahui, umumnya secara psikologis orang Bima terkenal sangat temperamental. Karakter dasar ini merupakan faktor internal yang menguatkan (reinforce) terjadinya konflik di samping faktor eksternalnya. Pada konteks masyarakat tertentu di Bima, penyebutan lokasi yang mengandung sinisme sudah cukup memicu konflik antar kelompok masyarakat. Di sisi lain akibat dari permusuhan yang pada awalnya kecil ini kemudian meluas pada masyarakat yang sesungguhnya tidak tahu menahu konflik tersebut tetapi seringkali mereka menjadi korbannya.
Menghadapi permasalahan sosial semacam ini tidak bisa diserahkan kepada aparat hukum semata. Yang diperlukan adalah kesadaran sosial yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Pada konteks Bima adalah melahirkan kembali kearifan lokal (local wisdom) yang berakar rumput pada budaya Bima itu sendiri. Mengapa demikian? Karena punishment yang berasal dari hukum posifit seringkali tidak meninggalkan efek jera, sehingga tindakan-tindakan kekerasan baik individual maupun sosial akan mudah muncul kembali. Maka yang terjadi adalah seperti menggelindingkan bola yang terus berulang dengan pola yang sama dan semakin canggih. Menyelesaikan problem konflik horisontal semacam ini, tidak bisa dilakukan hanya dengan memperbaiki keadaan yang terlanjur rusak, tetapi yang perlu dianalisis lebih dalam adalah akar penyebab masalah itu terjadi. Dengan mengetahui faktor pemicunya, bukan saja mampu menyelesaikan masalah, tetapi juga dapat menjadi langkah preventif untuk menghindari konflik-konflik lainnya.
Dengan demikian menguatkan kembali kearifan lokal bukan saja menjadi solusi tetapi juga tuntutan bagi kepentingan masyarakat Bima. Karena dengan kearifan ini, masyarakat dapat merefleksikan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya sendiri. Di sisi lain mengapat hal ini menjadi sangat penting, karena kita menyadari bahwa masyarakat Bima adalah masyarakat transisi. Dalam teori psikologi, masa transisi merupakan masa yang rawan bagi pencarian jati diri. Jika terjadi kesalahan pada fase transisi ini dapat menyebabkan problem perkembangan pada fase-fase berikutnya. Sehingga dengan adanya nilai-nilai lokal (local values) yang muncul dari kearifan lokal ini, setidaknya masyarakat atau kelompok sosial tertentu yang ada di Bima dapat merefleksikan dirinya dengan nilai yang sama. Hasil akhirnya, nilai yang sama akan melahirkan persepsi yang sama terhadap budaya, sosial, dan kelompok lainnya. Yang ada bukan lagi ingroup atau outgroup, melainkan ourgroup. Kita berasal dari budaya yang sama, nilai yang sama, cita-cita yang sama, dan harapan yang sama sebagai Dou Mbojo yang memegang teguh ajaran agama dan keluhuran budaya.
Ilhamuddin Nukman, S.Psi
Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UGM Yogyakarta dan Direktur PUSMAJA Mbojo-Yogyakarta
(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Amanat Bima)